Pernah heran kenapa pejabat yang kinerjanya 'gagal-gagal' saja masih betah di kursi kekuasaan? Yuk, kita kupas tuntas alasan di balik fenomena ini, dari sistem politik, budaya, hingga apa yang bisa kita lakukan sebagai warga negara.
Pernah nggak sih, sambil duduk-duduk santai, ngopi, atau scrolling berita di HP, tiba-tiba kamu dibuat geleng-geleng kepala? Namanya juga berita politik, kadang suka ada yang lucu-lucu nggak sih. Salah satu yang paling sering membuat kita bertanya-tanya adalah fenomena pejabat yang seolah-olah melekat kuat di kursinya.
Bayangkan, ada program yang gagal total, janji yang tak kunjung ditepati, atau bahkan isu miring yang menyerang nama baiknya. Logikanya, sih, mereka harusnya malu, introspeksi, dan dengan legawa mengundurkan diri. Nyatanya? Nggak! Mereka justru masih di sana, tersenyum lebar di acara-acara resmi, seolah-olah nggak ada apa-apa.
Kamu pasti pernah berpikir, "Lho, kok bisa sih?" atau "Apa nggak malu ya?". Nah, rasa penasaran ini yang bakal kita kupas habis-habisan hari ini. Kita akan bedah kenapa banyak pejabat yang mempertahankan jabatannya meski sudah berkali-kali gagal?. Ini bukan sekadar soal muka tebal, tapi ada jaringan yang rumit di baliknya. Siapkan camilanmu, mari kita mulai!
1. Kursi Itu Nyaman, Apalagi Kalau Dilengkapi 'Kredit Poin'
Coba bayangkan kursi pejabat itu seperti level VIP di sebuah game. Untuk mencapainya, butuh perjuangan mati-matian, waktu, dan sumber daya yang nggak sedikit. Begitu sudah dapat, rasanya sayang banget buat dilepaskan hanya karena satu atau dua 'quest' yang gagal. Ini adalah alasan paling mendasar: daya tarik kekuasaan dan fasilitas.
Seorang pejabat, terutama di level tinggi, punya akses terhadap banyak hal: fasilitas mewah, pengawalan, pengaruh besar, dan jaringan koneksitas yang bisa memudahkan segalanya. Lepas dari jabatan berarti melepas semua kemewahan dan privilege itu. Ini seperti meminta seseorang untuk turun dari kelas bisnis ke ekonomi padahal sudah terbiasa dengan legroom dan minuman keramahan.
Selain itu, ada yang disebut dengan "investasi politik". Mereka (atau partainya) sudah mengeluarkan dana, tenaga, dan pikiran yang sangat besar untuk memenangkan pemilihan atau menempatkan mereka di posisi tersebut. Mengundurkan diri dianggap sebagai kerugian investasi yang besar. Maka dari itu, mereka akan berusaha sekuat tenaga untuk bertahan, dengan harapan masih bisa "balik modal" atau setidaknya mempertahankan status quo.
Gagal dalam satu program bisa dianggap sebagai "kerikil kecil" di perjalanan panjang karir mereka. Mereka akan mencoba mencari kambing hitam, memutar balik fakta, atau membuat narasi baru untuk menutupi kegagalan tersebut, asalkan kursi nyaman itu tetap aman.
2. Apa Dampak Sosial dari Pejabat yang Enggan Mundur?
Kalau cuma soal nyamannya si pejabat, mungkin kita masih bisa cuek. Tapi, ketika seorang pemimpin yang terbukti gagal tetap bertahan, dampaknya merembet ke mana-mana dan bikin masyarakat yang jadi korban.
Pertama, stagnasi dan kemunduran. Ketika pemimpin tidak memiliki kapabilitas atau bahkan niat untuk memperbaiki keadaan, pembangunan akan terhambat. Program yang seharusnya menyentuh masyarakat jadi mangkrak, inovasi tidak ada, dan pelayanan publik semakin buruk. Akibatnya, masyarakatlah yang menanggung beban. Bayangkan saja, jika kepala daerah yang gagal menyelesaikan masalah banjir bertahan terus, warga ya harus terus siap-siap terendam setiap tahun.
Kedua, menurunnya kepercayaan publik terhadap institusi pemerintah. Ini adalah dampak yang paling berbahaya. Ketika masyarakat melihat pejabat yang korup atau tidak kompeten tetap berkuasa tanpa konsekuensi, mereka akan berpikir, "Ah, sistem ini sudah rusak semua. Ngapain juga percaya sama pemerintah?". Rasa apatis ini bisa memicu disintegrasi sosial dan melemahkan demokrasi itu sendiri. Orang jadi enggan ikut pemilihan, enggan mengawasi, dan pada akhirnya, roda pemerintahan diisi oleh orang-orang yang sama lagi dan lagi.
Ketiga, menciptakan preseden buruk. Ketika satu pejabat gagal tapi aman-aman saja, itu mengirimkan pesan bahwa gagal itu tidak apa-apa. Ini akan menginspirasi pejabat lain untuk berlaku sama. Lingkaran setan kegagalan tanpa tanggung jawab pun terbentuk, dan sulit untuk dihentikan.
3. Sistem Politik: 'Payung' Besar bagi Pejabat Bertahan
Alasan berikutnya kenapa banyak pejabat yang mempertahankan jabatannya meski sudah berkali-kali gagal adalah karena sistem politik kita seringkali justru melindungi mereka. Sistem ini ibarat sebuah payung raksasa yang menahan mereka dari "hujan" kritik dan desakan mundur.
Salah satu contohnya adalah sistem rekrutmen berbasis patronase (kkn). Di banyak kasus, seorang pejabat menduduki posisinya bukan semata-mata karena kemampuan, melainkan karena loyalitasnya kepada atasan atau partai politik. Ketika mereka bermasalah, atasan atau partai tersebut akan berusaha keras untuk melindungi mereka, karena menjatuhkannya sama saja dengan melemahkan posisi mereka sendiri. "Anak buah saya yang jatuh, berarti saya juga gagal memimpin," begitu kira-kira logikanya.
Selain itu, mekanisme kontrol dan pengawasan yang lemah juga menjadi faktor penentu. Lembaga-lembaga pengawas seperti KPK, BPK, atau Dewan Kehormatan terkadang tidak memiliki cukup "gigi" untuk menjatuhkan sanksi yang tegas. Prosedurnya yang panjang dan berbelit-belit seringkali dimanfaatkan oleh pejabat untuk bertahan. Bisa jadi, kasusnya sudah lenyap dari ingatan publik sebelum ada keputusan final.
Terakhir, kita punya sistem politik yang terlalu terpusat pada partai. Loyalitas partai seringkali diutamakan daripada suara rakyat. Selama seorang pejabat masih dianggap "aset" berharga bagi partai (misalnya, karena kemampuan menggalang dana atau memobilisasi massa), partai akan mati-matian membela, apa pun kesalahannya.
4. Upaya Efektif Mendorong Pejabat Mundur: Tekanan dari Semua Arah
Nah, kalau sistemnya begitu, lalu bagaimana cara membuat mereka mau turun dari "tahta" yang nyaman itu? Ternyata, ada beberapa upaya yang terbukti cukup efektif untuk mendorong pejabat mundur, dan ini butuh kerja sama dari banyak pihak.
Pertama, tekanan publik yang masif dan terorganisir. Ini adalah senjata paling ampuh. Demo besar-besaran, petisi online yang ditandatangani jutaan orang, atau bahkan "serangan" di media sosial yang konsisten bisa menciptakan tekanan politik yang luar biasa. Ketika isu kegagalan seorang pejabat menjadi pembicaraan nasional dan tidak bisa lagi diabaikan, partai atau atasan mereka akan mulai berpikir ulang untuk terus membela. Biaya politik untuk mempertahankan pejabat tersebut menjadi lebih besar daripada melepasnya.
Kedua, peran media massa yang independen dan investigatif. Media yang kredibel bisa mengungkap bukti-buki kegagalan atau korupsi secara detail dan menyajikannya ke publik. Liputan investigasi yang kuat bisa menjadi "pemicu" bagi gerakan sosial dan menarik perhatian lembaga penegak hukum. Media adalah pilar demokrasi yang punya kemampuan untuk mengubah narasi dari "kegagalan biasa" menjadi "skandal yang memalukan".
Ketiga, aksi nyata dari lembaga penegak hukum dan pengawas. Ketika KPK atau kepolisian secara tegas menetapkan seorang pejabat sebagai tersangka, itu adalah pukulan telak yang sulit ditangkis dengan dalih apapun. Ini menunjukkan bahwa tidak ada yang kebal di atas hukum. Tindakan tegas ini akan memberikan efek jera bagi pejabat lain.
5. Peran Budaya dan Kekuatan Masyarakat Sipil
Selain sistem dan tekanan eksternal, ada juga faktor budaya yang memengaruhi fenomena ini. Budaya "jaga muka" atau takut "menjatuhkan" orang lain yang lebih senior atau punya power masih kuat di beberapa kalangan. Namun, budaya ini perlahan bisa diubah oleh peran masyarakat sipil.
Masyarakat sipil, yang terdiri dari para aktivis, akademisi, LSM, dan kita-kita ini sebagai warga negara, memiliki peran krusial. Kita tidak bisa sekadar mengeluh di grup WhatsApp atau kolom komentar. Kita harus naik kelas.
Bagaimana caranya?
- Berikan Edukasi Politik ke Lingkungan Terdekat: Jelaskan kepada keluarga, teman, atau tetangga tentang pentingnya pemimpin yang bertanggung jawab. Bagikan informasi yang benar dan jangan mudah terpancing oleh hoaks.
- Manfaatkan Platform Digital dengan Bijak: Gunakan media sosial untuk menyuarakan kritik yang membangun, bukan hanya untuk menghujat. Buat tagar yang trending, kirim email masal ke kantor pejabat atau wakil rakyat, dan laporkan akun-akun resmi jika mereka melakukan pelanggaran.
- Dukung Lembaga Pengawas dan Media Independen: Berlangganan media kredibel, dukung kerja LSM yang fokus pada anti-korupsi, dan hormati proses hukum yang sedang berjalan.
- Gunakan Hak Pilih dengan Cerdas: Ini adalah cara paling fundamental. Pada saat pemilihan, pelajari dengan baik track record calon-calon pemimpin. Jangan jual suara hanya karena uang atau popularitas sesaat. Pilihlah orang yang punya integritas dan kapabilitas, meskipun dia belum terlalu dikenal.
Masyarakat yang kritis dan terorganisir adalah pengawas terakhir yang paling efektif. Ketika kita semua bersatu dan menyuarakan hal yang sama, suara kita akan terdengar lebih keras daripada mesin politik partai mana pun.
Jadi, setelah kita bedah bersama-sama, jawaban dari pertanyaan kenapa banyak pejabat yang memertahankan jabatannya meski sudah berkali-kali gagal? ternyata kompleks, ya? Ini bukan hanya soal niat atau tidak niat, tapi juga soal sistem yang memayungi, budaya yang melingkupi, dan kekuatan yang berada di balik layar.
Tapi yang paling penting untuk diingat adalah bahwa kekuasaan sesungguhnya ada di tangan kita, rakyat. Pejabat bisa bertahan karena kita terkadang membiarkannya. Tapi, kita juga punya kekuatan untuk membuat mereka turun.
Sekarang, giliran kamu yang berbicara. Apa pendapatmu tentang fenomena ini? Menurut kamu, faktor apa yang paling dominan? Atau mungkin kamu punya pengalaman atau ide kreatif lain untuk mendorong pejabat yang gagal agar mundur?
Tulis pendapat, pengalaman, atau idemu di kolom komentar di bawah ini. Mari kita ciptakan diskusi yang sehat dan konstruktif. Siapa tahu, dari komentar-komentar kecil kita, lahir sebuah ide besar yang bisa mengubah wajah birokrasi kita. Salam!
Posting Komentar