Antara rindu dan kekecewaan

Tadi pagi, saat aku membuka pesan darinya, hatiku sedikit berdebar. Ia bilang merindukanku. Katanya, ia tak bisa tidur karena terus memikirkan kenangan kita. Aku hanya tersenyum tipis, mengetik balasan singkat, “Aku juga.” Tapi sebenarnya, aku tak yakin lagi seberapa dalam perasaan itu. Karena aku tahu, segala sesuatu bisa berubah dalam sekejap. Hari ini ia bilang merindukanku, besok mungkin ia akan bilang mencintaiku. Dan lusa, siapa tahu, ia sudah mengucapkan selamat tinggal.

Aku pernah merasakan sakit itu. Saat seseorang yang kau anggap penting tiba-tiba berubah, tanpa alasan yang jelas. Ia pergi, bukan karena bertengkar, bukan karena salah paham, tapi hanya karena ia sudah menemukan yang lain. Aku belajar untuk tidak terlalu berharap. Karena semakin tinggi harapan, maka semakin dalam juga luka ketika semuanya runtuh. Dan percayalah, luka itu tak akan pernah terlihat oleh orang lain. Ia hanya tahu bagian luar, tapi mereka tak tahu betapa sulitnya bernapas saat hati terluka.

Kadang aku bertanya pada diri sendiri, mengapa kita masih membiarkan seseorang masuk ke dalam hidup kita, meski tahu bahwa mereka bisa saja pergi kapan saja? Mungkin karena kita lemah. Karena kita butuh seseorang yang bisa membuat hari-hari kelabu terasa sedikit lebih terang. Tapi aku juga tahu, kita harus siap kecewa. Karena dunia ini memang begitu. Ia tak pernah menjanjikan keabadian, bahkan pada cinta yang paling tulus sekalipun.

Jadi sekarang, aku hanya bisa menunggu. Menunggu dengan harapan yang rendah, agar ketika ia benar-benar pergi, aku tak akan terlalu hancur. Aku masih bisa tertawa, masih bisa berjalan, masih bisa bernapas. Karena itu yang aku pelajari dari semua ini—bahwa mencintai itu indah, tapi mencintai seseorang yang bisa pergi kapan saja, itu ujian yang tak mudah. Dan yang terpenting, jangan pernah terlalu berharap pada siapa pun. Karena yang pasti hanyalah kita sendiri.

Posting Komentar