Gengs, pernah scroll TikTok atau Instagram Reels terus tiba-tiba berhenti di video pendek yang isinya cewek lusuh dipermalukan di pesta, terus ternyata dia CEO perusahaan multinasional? Nah, itu dia—micro drama. Jenis konten yang bikin kita nge-roll mata tapi jari tetap nge-swipe ke episode berikutnya.
Kalau dilihat sekilas, micro drama ini jelas low budget banget. Bayangin: nggak ada CGI keren ala Marvel, nggak ada lokasi eksotis kayak di Netflix, bahkan efek visualnya masih kayak sinetron Indosiar era 2000-an. Dialognya? 90% adu bacot antara si jahat yang sok kuasa sama si baik yang sabar banget sampe bikin kita pengen teriak, “Udah, lawan aja lu!”
Tapi justru di situlah letak magic-nya.
Micro drama nggak jual visual mewah atau akting Oscar-worthy. Mereka jual emosi. Lebih tepatnya: kepuasan balas dendam ala fantasi. Kamu tahu dari menit pertama bahwa tokoh utama itu sebenarnya powerful, tapi dipandang sebelah mata. Dan seluruh cerita cuma muter di satu pertanyaan: “Kapan sih si antagonis sadar siapa sebenarnya orang yang mereka bully?”
Dan plot twist-nya? Biasanya cuma butuh satu adegan: mobil Rolls-Royce datang, pengawal berjas hitam turun berjajar, lalu si tokoh utama buka kacamata hitamnya sambil bilang, “Kamu pikir aku cuma office girl biasa?” — mic drop.
Iya, produksinya murah. Iya, logikanya sering ngaco. Tapi micro drama paham banget psikologi penonton Gen Z dan Milenial: kita capek sama dunia yang nggak adil, jadi kita cari pelarian di mana si “underdog” akhirnya menang—dan menangnya epic banget.
Jadi, meski kita bilang “ini mah toxic”, “nggak masuk akal”, atau “duh, lagi-lagi plot kayak gini?”, kita tetap nonton. Karena di dunia yang penuh tekanan, kadang kita butuh cerita di mana keadilan datang dalam 60 detik, dan si jahat langsung jatuh tersungkur.
Micro drama mungkin nggak bakal masuk daftar nominasi Oscar. Tapi di timeline kita? Mereka raja konten.
So, guilty pleasure atau bukan—kita semua pernah nonton satu episode… terus lanjut sampe jam 3 pagi. 😅
Posting Komentar