Bayangan di Tengah Malam

"Bayangan di Tengah Malam"
 cerita lanjutan dari Suara Gamelan di Tengah Malam

Angin malam masih menusuk, membawa aroma tanah basah yang bercampur dengan kelelahan. Jam sudah menunjukkan pukul 2 pagi, tapi tidak ada yang benar-benar bisa tidur. Sebagian berbaring dengan mata terpejam, pura-pura tidur agar tak dihukum, sementara yang lain menghabiskan waktu dengan berbisik pelan atau mencuri makanan yang mereka sembunyikan sejak sore.
Suara langkah kaki terdengar di lantai atas. Padahal, seharusnya tidak ada siapa pun di sana. Vita menghela napas panjang, mencoba meyakinkan diri bahwa itu hanya suara kayu tua yang berderit. Tapi kemudian, suara gesekan kursi terdengar—terlalu jelas untuk sekadar halusinasi.

"Aku denger suara kursi pindah sendiri," bisiknya, mengingat cerita pelatih yang mengatakan lilin yang dinyalakan di ruang belakang memunculkan suara-suara yang tak terlihat asalnya.

Beberapa teman mulai merapat, ketakutan yang tadi hanya terasa samar kini benar-benar nyata. Mereka mencoba mengabaikan dengan bercanda atau berbicara tentang hal lain, tapi aura dingin semakin kuat. Seolah-olah ada sesuatu yang memperhatikan mereka.

Vita menoleh ke jendela, dan saat itulah ia melihatnya—sekelebat bayangan. Wujudnya tidak jelas, tapi cukup untuk membuat jantungnya berdegup kencang. Seseorang... atau sesuatu... berdiri di dekat ruang musik yang mereka lewati beberapa jam sebelumnya.

Temannya yang berniat pergi minum tiba-tiba berbalik, wajahnya pucat pasi. "Di dekat 8B... aku lihat darah," bisiknya gemetar.

Tanpa pikir panjang, mereka berlari. Tidak peduli lagi dengan kantuk, tidak peduli lagi dengan peraturan. Malam itu, mereka hanya ingin selamat dari sesuatu yang mereka belum sepenuhnya pahami.

Namun, satu hal yang mereka tahu pasti—sekolah itu tidak pernah benar-benar sepi. Bahkan saat semua orang tertidur, ada yang tetap terjaga, mengamati dalam diam.

Posting Komentar