bagai akademisi yang meneliti sistem pemerintahan dan proses legislasi, saya melihat fenomena ini bukan sekadar keluhan, tetapi sebagai gejala dari kegagalan struktural yang serius.
Pertama, sistem representasi kita telah bergeser dari demokrasi substantif menjadi demokrasi prosedural yang dikendalikan oleh oligarki partai. Mekanisme fraksi yang memonopoli hak legislasi anggota DPR adalah bentuk pelembagaan kontrol politik yang mengabaikan mandat rakyat. Ini bertentangan dengan prinsip dasar perwakilan.
Kedua, proses legislasi yang berlapis—dari Baleg hingga Prolegnas—telah menjadi filter ideologis yang lebih mengutamakan stabilitas politik dan kepentingan sponsor daripada urgensi publik. Dalam praktiknya, ini menciptakan hambatan sistemik bagi RUU yang progresif dan pro-rakyat.
Ketiga, minimnya partisipasi publik dalam pembahasan RUU menunjukkan lemahnya transparansi dan akuntabilitas. Demokrasi deliberatif yang seharusnya menjadi ruang dialog antara wakil dan rakyat, justru digantikan oleh lobi tertutup dan negosiasi kepentingan.
Keempat, absennya ratusan anggota DPR dalam sidang penting adalah indikator rendahnya etos kerja dan tanggung jawab publik. Ini bukan hanya soal moralitas, tetapi soal efektivitas institusi. Ketika legislator tidak hadir, maka fungsi pengawasan dan legislasi lumpuh.
Solusinya bukan sekadar mengganti orang, tetapi mereformasi sistem. Mulai dari membuka ruang legislasi individu, memperkuat mekanisme partisipasi publik, hingga menata ulang struktur fraksi agar tidak menjadi alat dominasi partai. Tanpa itu, kita hanya akan terus menyaksikan demokrasi yang berjalan tanpa jiwa.
Posting Komentar