Pendahuluan: Negeri yang Mencintai Keheningan
Di sebuah sudut dunia yang tak tercantum pada peta wisata internasional, berdirilah sebuah negara imajiner bernama Republika Senyap—negara yang sangat bangga dengan stabilitasnya. Stabilitas versi mereka, tentu saja.
Di negara ini, pemerintah begitu sensitif terhadap kritik sampai-sampai bayangan kritik pun bisa membuat mereka bersin alergi. Solusi mereka? Sederhana: hilangkan sumber kritikan.
Hasilnya adalah negara yang damai… tetapi penuh ketakutan. Tenang… tetapi penuh tekanan. Seperti kolam renang yang permukaannya tenang, tapi ada buaya lapar di bawahnya.
- Hukum yang Lihai Mengikuti Arah Angin Kekuasaan
Di Republika Senyap, hukum memiliki kemampuan spesial: Ia bisa membaca status sosial sebelum memutuskan tajam atau tumpul.
Jika pelanggar adalah rakyat biasa: Hukum berubah menjadi pedang Excalibur.
Jika pelanggar adalah pejabat atau kerabat pejabat: hukum mendadak menjadi bantal empuk lengkap dengan aromaterapi lavender.
Para pejabat bahkan sering bercanda sesama mereka:
“Kita ini bukan kebal hukum… Hukum saja yang terlalu sopan kepada kita.”
Rakyat hanya bisa tepuk tangan pelan—bukan karena suka, tapi karena tepuk tangan keras bisa dianggap “provokatif”.
- Pemerintah Anti Kritik: Ketika Kebenaran Harus Lewat Sensor
Di negeri ini, kritik dianggap memiliki tiga level ancaman:
Level 1: Mengganggu tidur pejabat.
Level 2: Mengganggu citra pejabat.
Level 3: Mengganggu kekuasaan pejabat (ini tidak boleh terjadi).
Karena itu, pemerintah membangun sebuah sistem anti kritik otomatis. Begitu ada rakyat yang berbicara sedikit keras, sistem akan berbisik:
“Tenang… diam lebih aman…”
Media pun dipersilakan untuk memberitakan apa saja—asal isinya hanya dua hal:
Pujian kepada pemerintah
Pujian kepada kebijakan pemerintah
Pihak yang mencoba menulis berita kritis akan mendapat hadiah: undangan “bincang-bincang” bersama lembaga bernama “Direktorat Keheningan Nasional”.
Tidak ada yang mau datang dua kali.
- Aparat Keamanan: Tameng Kekuasaan Bukan Tameng Rakyat
Para petugas keamanan di Republika Senyap memiliki semboyan:
“Mengabdi kepada negara—selama negara menunjuk siapa yang harus diam.”
Daripada melindungi rakyat, tugas utama mereka lebih seperti:
Menjaga reputasi pejabat
Mengawasi siapa yang terlalu banyak bertanya
Mengumpulkan daftar nama warga yang “terlalu kritis”
Menjaga agar suasana tetap sunyi
Jika ada rakyat kecil yang berdebat soal keadilan? Langsung diberi nasihat tegas:
“Jangan cerewet. Stabilitas itu mahal.”
- Rakyat Tanpa Suara: Hidup dalam Mode ‘Bisikan Permanen’
Republika Senyap mungkin negara merdeka, tapi kebebasan rakyatnya dijual dalam paket bundling bersama kuota internet yang sudah disensor.
Rakyat di sini:
Tidak bisa protes
Tidak bisa mengeluh
Tidak bisa bertanya
Tidak bisa salah napas saat pejabat lewat
Bahkan obrolan warung kopi pun menjadi lebih hati-hati daripada ujian farmakologi.
Mereka hidup dalam budaya baru bernama Bisiknokrasi—di mana seluruh pendapat harus dibisikkan, dan bila terlalu keras sedikit saja, dianggap “menggoyahkan negara”.
- Ironi Nasional: Semakin Banyak Poster Kebebasan, Semakin Sedikit Kebebasan
Pemerintah gemar memasang poster besar bertuliskan kalimat:
“Kebebasan adalah hak seluruh warga!”
Ironisnya, poster itu selalu berdiri tegak di depan kantor lembaga yang bertugas memastikan rakyat tidak terlalu bebas.
Iklan layanan masyarakat pun berbunyi:
“Bersuaralah! Tapi jangan macam-macam…”
Rakyat tersenyum getir setiap melihatnya. Di hati kecil mereka semua tahu: kebebasan di negara ini hanyalah dekorasi.
Kesimpulan: Negeri Damai dalam Diam
Republika Senyap adalah contoh sempurna negara yang sukses menjaga ketenangan nasional—karena suara rakyat telah dipadamkan seperti lilin kehabisan oksigen.
Hukum hanya bekerja ke bawah. Aparat hanya bergerak ke samping—menghindari para pejabat. Media hanya melihat ke atas. Dan rakyat hanya bisa menunduk.
Semuanya berjalan “baik-baik saja”… Selama rakyat tidak membuka mulut.
Posting Komentar