Negara Tergenang, Pejabat Mengeringkan Tangan

Saat Alam Menangis di AcehSumatra, Meja Kekuasaan Tetap Licin oleh Tepuk Tangan

Bencana kembali menyapa Aceh dan Sumatra. Air meluap, tanah bergerak, dan hutan—yang dulu setia menjaga—kini tersisa sebagai kenangan. Di saat yang sama, para pejabat tampil dengan wajah teduh dan kalimat bijak, seolah alam runtuh karena lupa sarapan, bukan karena kebijakan yang lapar.

Dalam konferensi pers berpendingin udara, seorang pejabat—yang lebih dikenal karena koleksi jargon daripada peta wilayah—menyatakan, “Ini murni faktor alam.” Pernyataan itu disambut anggukan serius, seolah gergaji mesin, izin kilat, dan truk bermuatan berlebih hanyalah ilusi optik.

Sementara warga membersihkan lumpur dari rumah, laporan proyek “berkelanjutan” dibersihkan dari angka-angka yang tak sedap dipandang. Hutan disebut “aset strategis”, lalu diperlakukan seperti kas kecil. Jalan dibangun cepat, rusak lebih cepat, diperbaiki paling cepat saat kamera datang.

Seorang “pakar instan” menjelaskan bahwa banjir adalah siklus. Benar. Yang lupa disebut: siklus izin, siklus setoran, dan siklus pembiaran—ketiganya bekerja lembur. Di ruang rapat, solusi selalu mengalir deras: studi baru, satgas baru, dan slogan baru. Di lapangan, air tetap menemukan rumah-rumah yang sama.

“Kita harus seimbang antara ekonomi dan ekologi,” ujar pejabat itu, sambil menandatangani izin berikutnya dengan tinta yang cepat kering—tak seperti tanah yang kehilangan air.

Aceh dan Sumatra tidak meminta pidato. Alam tidak membutuhkan jargon. Yang dibutuhkan sederhana: akal sehat, keberanian menolak yang merusak, dan kebijakan yang tak hanya menyelamatkan grafik, tapi juga akar. Jika masih sulit, mungkin alam perlu mengirim undangan resmi—bertanda tangan banjir dan longsor—agar kebijaksanaan tak lagi datang terlambat.

Lebih lamaTerbaru

Posting Komentar