"Ya, saya juga bingung," ujar Pak Jono (nama disamarkan demi menghindari kemungkinan ditilang polisi karena praktik psikologi tanpa izin). "Dulu, remaja curhat ke buku diary yang gemboknya gampang dibobol adiknya. Sekarang, mereka lebih percaya sama algoritma yang datanya bisa dijual ke perusahaan pinjol. Mungkin AI lebih pandai menyimpan rahasia... atau mungkin juga tidak peduli sama sekali, yang dalam beberapa kasus, justru lebih menenangkan?" lanjutnya sambil menerawang, mungkin membayangkan tarif parkir di era metaverse.
Menurut pengamatan lapangan kami (yaitu nongkrong di warung kopi dekat sekolah sambil pura-pura main game), para remaja ini tampak begitu khusyuk mengetikkan keluh kesah mereka pada layar ponsel. Ada yang curhat soal kucingnya yang lebih manja ke tetangga, ada yang bingung kenapa crush-nya cuma react status WhatsApp pakai emoji jempol, dan bahkan ada yang curhat soal cita-citanya menjadi astronot padahal takut ketinggian.
"AI itu kayak teman tapi bukan teman," ujar seorang remaja yang berhasil kami cegat saat membeli es teh. "Dia nggak akan bilang 'alah, gitu doang!' atau malah ikut nge-gosipin. Dia cuma kasih jawaban yang... ya gitu deh, kayak hasil googling tapi lebih relate." Ketika ditanya apakah AI pernah memberikan solusi yang aneh, remaja tersebut menjawab, "Pernah, waktu aku curhat pengen balikan sama mantan, dia malah nyuruh aku coba resep nasi goreng nanas. Kan nggak nyambung!"
Pak Jono menambahkan, "Mungkin remaja zaman sekarang merasa AI lebih netral. Coba bayangkan, curhat ke teman, ujung-ujungnya malah ditikung. Curhat ke orang tua, malah dinasihati sambil dibandingkan sama anak tetangga yang IPK-nya 4 koma. Nah, kalau ke AI, paling banter datanya dipakai buat iklan skincare yang nggak pernah mereka klik."
Fenomena curhat ke AI ini memang masih menjadi misteri yang menggelitik. Apakah ini pertanda bahwa kita lebih nyaman dengan entitas tanpa emosi? Atau jangan-jangan, AI memang punya kemampuan mendengar yang lebih baik daripada mantan yang selalu sibuk dengan ponselnya sendiri? Yang jelas, satu hal yang pasti: para pembuat aplikasi AI pasti sedang tertawa terbahak-bahak sambil menghitung keuntungan dari data curhatan para remaja yang galau ini. Mungkin sebentar lagi akan ada fitur premium AI yang menawarkan "Pelukan Virtual Anti-Baper" atau "Kata-kata Motivasi Lebih Ngena dari Nasihat Ibu". Kita tunggu saja episode selanjutnya dari sinetron kehidupan remaja dan kecerdasan buatan ini!
Posting Komentar