Ketika mendengar kata pendidikan, banyak orang membayangkan papan tulis, buku tebal, dan guru bijak yang menginspirasi. Nyatanya? Sekolah lebih mirip pabrik kecil yang sibuk mencetak produk massal: manusia patuh, rapi, dan siap tunduk pada sistem. Bonusnya: gratis seragam dan upacara tiap Senin.
👕 Seragam: Simbol Kesetiaan Kementerian Pendidikan sudah menegaskan: seragam tetap wajib, desain tak berubah. Karena apa gunanya kreativitas kalau warna baju saja harus seragam? Di dunia kerja nanti, bos juga tak peduli ide brilianmu—yang penting jam masuk tepat dan kemeja disetrika.
📋 Kurikulum Tersembunyi Bowles & Gintis menyebutnya hidden curriculum: pelajaran tak tertulis yang mengajarkan murid cara tunduk dengan benar.
- Tidak boleh bertanya terlalu banyak.
- Nilai bagus = murid patuh.
- Rambut di atas alis = masa depan cerah.
Siapa bilang sekolah tidak relevan dengan dunia kerja? Struktur sudah disesuaikan: target, atasan, penilaian kinerja. Bedanya, di sekolah bosnya guru, di kantor bosnya manajer.
👩🎓 Elite vs Negeri: Dua Jalur Menuju Kepatuhan
- Sekolah elite: murid dilatih kompetisi, portofolio, dan budaya performatif. Cocok jadi calon manajer.
- Sekolah negeri: murid dilatih baris rapi, sepatu hitam, dan jangan banyak tanya. Cocok jadi pekerja patuh.
Hasil akhirnya sama: semua patuh. Bedanya hanya posisi di rantai produksi.
⚠️ Masalahnya Ketika “murid baik” = “murid diam”, kita sedang mencetak generasi yang takut salah, enggan berdebat, dan lebih sibuk memastikan kaos kaki putih daripada ide segar. Ironisnya, dunia masa depan justru butuh orang yang berani bertanya.
Sekolah seharusnya jadi ruang merdeka, bukan pabrik mini. Tapi selama aturan sepatu lebih penting daripada keberanian berpikir, jangan heran kalau kita melahirkan generasi yang jago tunduk tapi bingung saat diminta berinovasi.
Pertanyaan terakhir: Apakah kita sedang mendidik manusia, atau sedang memproduksi robot patuh dengan garansi seumur hidup?
Posting Komentar