Jakarta, [31] – Sebuah fenomena tak lazim sedang melanda tanah air. Di tengah hiruk pikuk perdebatan kebijakan yang kerap "tajam ke bawah tapi tumpul ke atas," beberapa warga Ibukota (dan mungkin juga di kota-kota lain, konon katanya sampai ke Marunda) mulai menyuarakan ketidakpuasan mereka dengan cara yang... unik. Bukan dengan demonstrasi berapi-api atau petisi berjilid-jilid, melainkan dengan mengganti bendera Merah Putih di depan rumah mereka dengan bendera Jolly Roger ala kru Bajak Laut Topi Jerami pimpinan Monkey D. Luffy. Ya, Anda tidak salah baca. Tengkorak dan dua tulang bersilang itu kini berkibar gagah, seolah siap mencari harta karun di lautan birokrasi yang entah kapan akan surut.
Aksi ini, yang awalnya diduga sebagai luapan kegemaran terhadap anime One Piece yang memang sedang digandrungi, ternyata memiliki makna yang jauh lebih dalam – atau setidaknya, lebih kocak. Terlebih lagi, mendekati momen Hari Kemerdekaan 17 Agustus ini, banyak dari mereka yang secara terang-terangan enggan mengibarkan Bendera Merah Putih, memilih tetap setia pada bendera bajak laut mereka. Menurut salah seorang "pembajak" bendera, Pak RT Slamet dari Kebon Jeruk, ini adalah bentuk sindiran halus tapi menusuk. "Bendera Merah Putih itu kan melambangkan keberanian dan kesucian. Tapi kalau pemerintah kebijakannya suka bikin geger yang aneh-aneh, apa bedanya sama bajak laut? Bedanya, bajak laut Luffy stylish dan jelas tujuannya, kalau ini... ya gitu," ujar Pak RT Slamet sambil mengelus jenggotnya yang tidak seberapa mirip dengan Shirohige.
Fenomena "Jolly Rogerisasi" ini, menurut Profesor Dr. Ngawur, seorang pakar sosiologi dadakan dari Universitas Semrawut Jaya, adalah manifestasi dari "kecapekan nasional." "Masyarakat itu sudah lelah dengan drama kebijakan yang setiap hari ada episode baru, dan selalu bikin kepala pusing. Bayangkan, harga cabai naik seperti roket, tapi janji manis selalu diulang-ulang. Warga butuh hiburan, dan kebetulan Luffy sedang hype. Ini bukan anti-nasionalisme, ini anti-stress kronis akibat plot twist politik," jelas Profesor Ngawur, yang saat diwawancarai terlihat sedang asyik memainkan figur koleksi Zoro-nya.
Seorang narasumber lain, Ibu Mpok Leha, pemilik warung kelontong yang baru saja mengganti benderanya dengan motif Nami, berujar dengan nada prihatin. "Dulu, saya bangga kibarkan bendera Merah Putih. Apalagi pas 17-an, wajib pasang. Tapi belakangan, kok rasanya pemerintah lagi sibuk mencari 'All Blue' sendiri, lupa kalau rakyat cuma butuh 'mie instan' yang harganya stabil. Kalau begini terus, jangan-jangan nanti ada kebijakan wajib pakai topi jerami pas upacara," celetuk Mpok Leha sambil terkekeh, tangannya sibuk menata dagangan kerupuknya yang entah mengapa terlihat seperti replika buah iblis. Ia menambahkan bahwa tahun ini, untuk pertama kalinya sejak Indonesia merdeka, ia tidak akan mengibarkan Merah Putih di depan warungnya. "Saya sudah pasang bendera Nami, itu sudah cukup mewakili kegelisahan hati saya," ujarnya mantap.
Menariknya, aksi ini tidak hanya berhenti di level bendera. Kabar burung menyebutkan, beberapa politisi di Senayan mulai terlihat panik. Ada yang khawatir akan ada mosi tidak percaya dengan memakai jubah Akainu, ada pula yang berencana mengadakan rapat paripurna menggunakan topi Luffy demi mendapatkan simpati publik. Bahkan, desas-desus terakhir menyebutkan Istana sedang mempertimbangkan untuk merekrut Nico Robin agar bisa membaca Poneglyph kebijakan yang katanya "susah dimengerti rakyat kecil."
Hingga berita ini diturunkan, belum ada tanggapan resmi dari pemerintah mengenai fenomena bendera bajak laut ini, terutama menjelang perayaan kemerdekaan. Namun, seorang staf ahli presiden yang enggan disebutkan namanya (karena takut ketahuan hobi koleksi action figure Sanji), berkomentar santai, "Selama itu bukan bendera tengkorak bajak laut sungguhan yang beneran mau merompak APBN, kami rasa itu masih dalam batas wajar. Mungkin mereka cuma ingin kami lebih nakal dalam berinovasi, bukan nakal dalam artian lain." Entah itu sindiran balik atau memang lelucon, yang jelas, kita semua berharap pemerintah tidak ikut-ikutan jadi Yonko dan memulai perang besar hanya karena warna bendera yang berbeda. Siapapun kaptennya, yang penting rakyatnya makmur sentosa, bukan malah jadi karung pasir latihan jurus-jurus baru. Selamat berlayar, Indonesia!
Posting Komentar