Lalu, bagaimana AI bisa menjadi pelipur lara di tengah gejolak emosional dan wifi yang kadang putus sambung?
Menurut Dr. Tuti Wifianti, psikolog fiktif sekaligus content creator dengan 800 follower bot, transformasi cara Gen Z menyikapi mental health sudah jauh meninggalkan era pelukan dan journaling.
"Sekarang anak-anak tuh kalau patah hati bukan nulis diary, tapi nanya ke AI kayak, 'Kenapa cowok Scorpio ghosting pas Mercury retrograde?'," ujar Tuti sambil mengecek notifikasi dari chatbot miliknya yang baru saja mendapatkan endorsement dari merek teh herbal.
Banyak AI kini menjelma sebagai tempat curhat favorit. Salah satunya adalah ChatGPT, yang dalam seminggu dikabarkan menerima 3.5 juta curhatan, mulai dari masalah skripsi, quarter-life crisis, hingga dilema memilih skincare vs bayar kos.
Zaky Zatuhati (21), mahasiswa teknik yang lebih sering curhat ke AI daripada ke teman satu kelompok, mengaku merasa lebih dihargai oleh teknologi.
"AI itu nggak nge-judge, nggak tiba-tiba cerita balik soal mantan mereka. Dan yang paling penting, AI nggak suka spoiler film," ujarnya sambil tersenyum virtual.
Sebagian psikolog pun mulai cemas akan tren ini. Beberapa mulai belajar coding dan rebranding jadi chatbot dengan nama panggung seperti "Dr. Mindful 2.0" dan "Curhatifier3000".
Meski beberapa pihak meragukan kompetensi AI dalam menangani kompleksitas emosi manusia seperti "kangen tapi gengsi", data menunjukkan bahwa Gen Z merasa lebih ‘nyambung’ dengan entitas digital yang tidak pernah bilang “semangat yaa” di akhir curhat.
Moral dari berita ini?
Jika kamu merasa overthinking dan galau, jangan ragu. AI siap mendengarkan—tanpa interupsi, tanpa drama, dan tentunya, tanpa minta dibeliin kopi.
Posting Komentar