Ia berhasil menyelesaikan studi S1-nya, meraih gelar bergengsi, diangkat menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS), dan—sebagai puncak dari pencapaiannya—menceraikan suaminya, Pak Tejo (30), seorang kuli bangunan yang membiayai kuliahnya. Alasan Bu Lilis? Ia malu punya suami yang pekerjaannya terlalu "membumi."


Keputusan sensasional ini tentu saja membuat warga sekitar terheran-heran. "Saya pikir, Bu Lilis itu tipikal istri yang setia, yang akan menemani suaminya membangun rumah tangga sampai akhir hayat. Ternyata, dia lebih suka membangun jenjang karier," ujar Mbak Lastri, tetangga yang juga seorang pengamat sinetron di kampung itu.

Menurut Mbak Lastri, cinta antara Pak Tejo dan Bu Lilis awalnya seperti adegan di FTV: si pria sederhana yang tulus, si wanita cantik yang bersemangat. "Semua orang tahu, Pak Tejo itu rela panas-panasan jadi kuli, ngangkat semen, ngaduk pasir, cuma buat bayar uang semesteran dan beliin laptop baru. Sampai-sampai, tangan Pak Tejo lebih banyak bekas semen daripada bekas genggaman tangan Bu Lilis," lanjutnya sambil menahan tawa.

Pak Tejo sendiri, saat dihubungi melalui tukang ojek langganannya, tak banyak berkomentar. "Saya cuma bisa bilang, dia dulu bilang cinta saya semenggah tembok yang saya bangun. Tapi ternyata, tembok cinta itu ambruk duluan," ujarnya lirih, sambil sesekali mengelap keringat dan air mata yang bercampur aduk.


Sementara itu, pihak pengadilan agama yang menengahi kasus perceraian ini mengaku bingung. "Ini kasus unik. Biasanya, alasan cerai itu karena KDRT atau selingkuh. Ini alasannya karena 'suami terlalu maskulin, tangan kapalan, dan bau keringat'," tutur Bapak Hakim Ahmad Sudiro. "Kami sempat bertanya, apakah Bu Lilis tidak ingat masa-masa Pak Tejo mengantarnya ke kampus dengan sepeda motor yang knalpotnya berisik? Dia cuma jawab, 'Itu memori, Pak. Sekarang saya sudah punya mobil dinas'."

Berdasarkan investigasi tim kami yang dibantu oleh biro jodoh dan agen properti, rupanya Bu Lilis sudah menemukan pujaan hati baru. Seorang PNS juga, yang menurutnya, "memiliki pergelangan tangan yang halus dan bebas dari noda semen."


Di akhir kisah, Pak Tejo tidak mau larut dalam kesedihan. Ia berencana menggunakan uang hasil menjual sepeda motornya untuk membeli mesin cuci, agar tangannya tidak kapalan saat mencuci baju. "Minimal, tangan saya sekarang bisa lebih halus, siapa tahu ada PNS lain yang mau," candanya, sambil mengedipkan mata, yang sayangnya, tak ada satu pun yang melihat.