Jakarta — Fenomena menyebarkan tangkapan layar obrolan pribadi tanpa izin kian meresahkan masyarakat. Ditemukan bahwa perilaku ini meningkatkan risiko kehilangan teman secara mendadak dan meningkatkan interaksi via Instagram Live 3000%. Siapa pelakunya? Kapan ini terjadi? Di mana tempat kejadian perkara sosialnya? Kenapa mereka melakukannya? Dan bagaimana masyarakat bertahan? Semua terjawab dalam liputan kami yang terlalu jujur tapi juga agak lebay.
Menurut riset absurd dari Institut Perlindungan Percakapan Pribadi (IP3), 9 dari 10 orang merasa was-was setiap kali ikon tangkapan layar berbunyi “klik” di dekat mereka. “Saya trauma. Setiap dengar suara screencapture, saya refleks lempar HP ke lemari,” ujar Bu Darmi, korban tangkapan layar non-konsensual yang kini tinggal di gua tanpa sinyal.
Tindakan ini berdampak serius pada hubungan pertemanan. Banyak warga kini memilih berteman dengan tanaman hias karena mereka tidak punya jempol buat screenshot. “Monstera saya setia banget. Nggak pernah bocorin rahasia,” ujar Rio, aktivis anti-screenshoot dan pemilik komunitas Bicara Sama Pohon.
Sementara itu, Dr. Gema Sinyal, pakar komunikasi virtual dari Universitas Chat Lestari, menjelaskan bahwa makin banyak pelaku tangkapan layar yang beralih ke Instagram Live. “Mungkin ada kepuasan melihat komentar netizen saat mereka bacakan ulang chat pribadi di depan ring light. Ini gangguan yang belum ada di DSM,” katanya sambil live-in dari ring light warisan.
Kesimpulan dari berita ini sederhana: kalau kamu sering nge-screenshot chat orang lalu dikirim ke orang lain, kami sarankan bertemanlah dengan Google Drive saja—dia memang suka menyimpan, tapi nggak pernah ngadu ke orang lain. Dan satu pesan dari redaksi: Dunia nggak harus tau, sayang. Kadang cukup kamu dan sinyal yang tahu.
Posting Komentar