Surat dari 2050
Bayangkan Indonesia tahun 2050.
Pulau-pulau kecil mulai lenyap. Jakarta makin mencekik di bawah permukaan laut.
Yang punya sawit, tambang, dan pabrik kertas sudah lama meninggal—dengan senyum di bibir karena uangnya sudah aman di parais pajak.
Yang tersisa? Kita. Generasi muda yang kini berusia 20-30 tahun, yang hari ini dipersilakan “berkreasi” dan “berkontribusi”, tapi tak pernah diajak duduk di meja kebijakan.
Kami bukan lagi “agent of change”; kami korban perubahan iklim yang dipersalahkan karena “kurih optimis”.
- Angka di Balik Kemarahan: 56,8 % anak muda dunia marah pada pemerintahnya
Studi The Lancet (2021) menanya 10.000 remaja dan dewasa muda di 10 negara.
Hasilnya:
- 56,8 % merasa marah terhadap pemerintah karena dianggap “gagal melindungi planet dan generasi mendatang”.
- 64,4 % percaya bahwa pemerintah “berbohong soal efektivitas aksi iklim”.
- 64,9 % menyatakan pemerintah “mengkhianati anak muda di seluruh dunia” .
Marah bukan sekadar emosi; marah adalah respons mental-sehat atas realita yang mencekik .
Kalau Anda merasa “ngga enak” tiap kali baca berita kebakaran hutan, itu tandanya otak masih bekerja.
- “Tapi Kan Pemerintah Sudah Banyak Program?”
Fakta lapangan:
- Indonesia masih kehilangan 684 ribu ha tutupan hutan alam per tahun (2021-2023) – luasnya hampir 3 kali Singapura.
- 66 % lahan konsesi sawit di Riau berasal dari pembukaan hutan primer (Data SIPAL, 2022).
- Potensi kerugian negara dari tindak pidana lingkungan mencapai Rp 317,8 triliun (KPK, 2022) – cukup untuk membangun 2.000 ruang kelas baru setiap hari selama 10 tahun.
Dan, ya, korupsi lingkungan masih nomor wahid. Dana reboisasi, dana karbon, dana PSN – semua celahnya sama.
Kalau sudah ratusan triliun menguap, lalu pemerintah membuka e-wallet donasi internal, wajar kalau publik beralih ke tagar #SumbanganTapiCuriga.
- “Kalian Bisa Berdoa, Bisa Menabung… Tapi Tidak Bisa Menguasai Kebijakan”
Mudah ditemui pejabat menanam pohon, menabur pupuk, atau salam-salaman pakai kopi sachet.
Tapi Anda pernah lihat satu presiden datang ke Sumatra, menurunkan baju, lalu berkata:
“Saya salah. Sawit bukan pohon. Dan sekarang kami akan potong Mafia Batang Gadis (MBG) untuk membiayai pemulihan hutan Sumatra”?
Belum pernah.
Yang ada:
- 1 triliun/hari tetap mengalir ke MBG, sementara anggaran restorasi hutan cuma Rp 1,2 triliun untuk seluruh Indonesia 2024.
- Presiden memiliki 7 kali luas Singapura sebagai lahan pribadi (BPN, 2023) – tapi tetap jadi penentu arah tata ruang.
- Menhut bilang “kita kembangkan bisnis kredit karbon”, tapi di parlemen yang sama berbagi meja dengan pengusaha kayu lapuk.
Kalau polisi, tentara, pejabat, dan pengusaha satu meja domino, siapa yang mau jadi kartu?
- Maka Kita Putuskan: #WargaJagaWarga
Ketika lembaga donor pemerintah dibuka, 10 M per hari tetap mengalir ke Ferry Riwandi & kolega – bukan karena mereka “viral”, tapi karena kita saling percaya.
Dalam 72 jam, Rp 410 juta tersalurkan transparan lewat spreadsheet publik.
Tanpa endorsement artis, tanpa iklan Facebook, tanpa potongan “biaya administrasi 20 %”.
Inilah bukti empiris: kepercayaan publik sedang migrasi dari negara ke jaringan horizontal.
Kami bukan anti-pajak; kami anti-dicurangi.
Kami bukan menggadaikan demokrasi; kami praktikkan demokrasi ulung: gotong-royong tanpa intervensi.
- Apa Bisa “Marah” Dirasionalkan?
Bisa. Dan sudah waktunya dipakai sebagai bahan bakar politik.
- Tuntut audit deforestasi terbuka – mulai dari data konversi lahan 1990-2024.
- Desak semua capres-cawapres tandatangani “Surat Wasiat Iklim”: janji konversi lahan > 5 ha harus dikawal KPK-LH-Komnas HAM.
- Tolak segala bentuk “donasi internal” sebelum kerugian negara Rp 317 triliun dikembalikan.
- Dukung RUU Perlindungan Ekosistem dan Keadilan Iklim – yang memberikan legal standing kepada generasi mendatang untuk gugat negara.
Kalau Anda berusia 20-30 tahun, Anda adalah 40 % pemilih 2029. Artinya: kami bukan hanya korban, kami kunci.
Gunakan marah Anda untuk memaksa mereka yang sudah nyaman di istana, vila, dan lobbi hotel berbintang lima untuk mendengarkan, mempertanggungjawabkan, dan mundur bila perlu.
Penutup: Kami Layak Marah, Tapi Juga Layak Berharap
Harapan tidak datang dari feel-good campaign berlogo daun.
Harapan lahir saat angka kerugian ratusan triliun diubah menjadi angka restorasi ribuan hektar.
Harapan lahir saat tagar #WargaJagaWarga tidak lagi menjadi tanda bahwa negara absen, melainkan tanda bahwa kita sedang menyiapkan fondasi baru: negara yang memang milik kita semua, bukan milik mereka yang sudah mati sebelum banjir datang.
Jadi, kepada teman-teman di kala pilkada, pilpres, dan setiap rapat RW:
Tetap marah. Tetap hitung. Tetap tuntut.
Karena 2050 bukan akhir masa depan; itu awal dari pertanggungjawaban.
Daftar Pustaka Singkat (siapa tahu dibutuhkan untuk debat WhatsApp)
: Truthout, Youth Climate Anxiety Is Skyrocketing — and Government Inaction Is to Blame, 2021.
: The Lancet, Climate anxiety in children and young people and their beliefs about government responses, 2021.
: KKC, Corruption in Indonesia, 2023.
: NIH, Addressing youths' climate change-related distress, 2023.
: Harvard Political Review, Young People are Worried About Climate Change, and They Should Be, 2023.
“Kami bukan generasi strawberry—kami generasi yang dipaksa tumbuh di tanah yang diperkosa.”
Bagikan jika setuju. Debate di kolom komentar kalau tidak.
Posting Komentar