“Banjir Bukan Karena Sawit, Hanya Karena Airnya Tersinggung”

Di tengah banjir bandang yang mengubur rumah, sawah, dan harapan warga Sumatera, sekelompok oknum terlihat sibuk menyelamatkan sesuatu yang jauh lebih penting: citra kebun dan tebalnya buku izin. Air mengalir deras ke permukiman, sementara limpahan keuntungan tetap mengalir tenang ke rekening yang aman dan kering.[2][1]

Tulisan menjelaskan bahwa setiap musim hujan, warga kembali kebanjiran, tetapi yang paling sibuk justru bukan tim evakuasi, melainkan tim klarifikasi dan tim pencitraan. Di layar televisi dan konferensi pers, muncul kalimat hafalan: “Ini murni cuaca ekstrem, jangan salahkan kebun, jangan salahkan izin, apalagi salahkan kami.”[3][4][1][2]

Banjir disebut “tamu tak diundang”, padahal hutan sudah lebih dulu diusir, bukit digunduli, dan sungai dipersempit demi membuka lahan yang katanya untuk kesejahteraan rakyat. Rakyat memang sejahtera: sejahtera mengungsi, sejahtera mengantre bantuan, sejahtera mendengar janji penanganan bencana yang bentuknya lebih sering berupa spanduk daripada solusi.[5][1][2]

  • Oknum pejabat dapat digambarkan sebagai sosok yang hafal angka bantuan, tapi lupa angka luas hutan yang berubah jadi kebun dan tambang, seolah peta kerusakan alam tidak pernah sampai ke mejanya.[1][2][3]
  • Oknum pengusaha digambarkan bangga karena “lahan sudah produktif”, meski produktif menghasilkan konflik agraria, banjir, dan longsor, sementara mereka hanya kebanjiran undangan rapat dan tabungan baru, bukan lumpur di ruang tamu.[2][5]
  • Oknum komentator publik bisa disindir sebagai sosok yang tiap bencana selalu muncul untuk bilang “jangan buru‑buru menyalahkan sawit”, tapi sangat cepat membela kepentingan industri, seakan banjir adalah sekadar efek spesial cuaca, bukan efek samping izin.[6][4]

Dengan model satir seperti ini, kritik tetap tajam dan mengena pada pola kebijakan, pola izin, dan pola pembelaan oknum, tanpa perlu menyebut nama individu atau menuduh secara spesifik. Jika ingin, artikel bisa dipoles lagi dengan gaya bahasa yang lebih lokal atau jenaka sesuai platform (misalnya untuk Instagram, X, atau blog), selama tetap mengedepankan fakta dan menghindari fitnah.[7][3][5][1][2]

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11

Lebih lamaTerbaru

Posting Komentar