Bencana Sumatera: Ribuan Korban, Ratusan Ribu Pengungsi, dan Pertanyaan tentang Status Nasional

📊 Fakta Lapangan Data terbaru dari BNPB mencatat:

  • 867 orang tewas, 521 orang hilang, dan lebih dari 4.200 orang luka-luka.
  • 835 ribu jiwa harus mengungsi, tersebar di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat.
  • Infrastruktur rusak parah: 405 jembatan, 270 fasilitas kesehatan, 509 sekolah, dan lebih dari 121 ribu rumah hancur【edgegetpage_content】.

Skala bencana ini jelas luar biasa. Namun, hingga kini pemerintah belum menetapkan status bencana nasional. Pertanyaan besar pun muncul: mengapa?

🔍 Mengapa Tidak Ada Status Bencana Nasional? Ada beberapa alasan yang sering muncul dalam diskusi publik:

  • Implikasi politik dan ekonomi: Status bencana nasional akan menuntut keterlibatan penuh pemerintah pusat, termasuk transparansi anggaran dan audit besar-besaran.
  • Keterkaitan dengan izin tambang dan kehutanan: Banyak pihak menduga bahwa kerusakan lingkungan akibat deforestasi, alih fungsi lahan, dan tambang di Sumatera memperparah banjir dan longsor. Memberi status nasional bisa membuka kotak Pandora tentang siapa yang memberi izin dan siapa yang diuntungkan.
  • Menghindari sorotan internasional: Status nasional akan menarik perhatian dunia, dan bisa menimbulkan tekanan diplomatik terkait komitmen Indonesia terhadap lingkungan.

🌲 Apa yang Disembunyikan? Bukan rahasia lagi bahwa:

  • Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup sering dikritik karena lemahnya pengawasan terhadap pembalakan liar dan izin konsesi hutan.
  • Perizinan tambang di Sumatera kerap diberikan tanpa kajian lingkungan yang memadai. Tambang batubara dan perkebunan sawit menjadi sorotan utama.
  • PT-PT besar di sektor tambang dan perkebunan sawit diduga memiliki kontribusi terhadap deforestasi yang memperparah banjir bandang. Nama-nama perusahaan sering muncul dalam laporan NGO, meski jarang disentuh dalam konferensi pers resmi.

⚖️ Siapa yang Bertanggung Jawab? Pertanggungjawaban seharusnya tidak berhenti pada BNPB atau pemerintah daerah. Ada rantai panjang:

  • Pemerintah pusat yang memberi izin tambang dan konsesi hutan.
  • Kementerian terkait yang lalai dalam pengawasan.
  • Perusahaan besar yang menikmati keuntungan dari eksploitasi alam tanpa memikirkan dampak sosial-ekologis.

Apakah mereka harus mundur? Dalam demokrasi yang sehat, mundur adalah bentuk tanggung jawab moral. Namun di Indonesia, mundur sering dianggap tabu. Padahal, publik berhak menuntut akuntabilitas.

Ironis sekali: ketika rakyat bergulat dengan lumpur dan kehilangan rumah, pejabat sibuk berdebat soal status bencana.

  • Kementerian Kehutanan seolah lebih sibuk menjaga izin konsesi daripada menjaga hutan.
  • Perizinan tambang berjalan mulus, sementara jalan evakuasi warga terputus.
  • PT besar yang dulu dielu-elukan sebagai penyumbang devisa, kini diam seribu bahasa ketika banjir bandang menelan korban.

Apakah jabatan lebih penting daripada nyawa? Jika iya, maka sejarah akan mencatat bahwa pemerintah lebih memilih melindungi tambang daripada rakyatnya.

Bencana Sumatera bukan sekadar tragedi alam. Ia adalah cermin dari kebijakan yang salah arah, dari izin tambang yang sembrono, dari hutan yang ditebang tanpa nurani. Status bencana nasional mungkin tidak diberikan, tetapi status krisis moral jelas sudah ada.

Posting Komentar