MALANG — Dalam rangka memperingati HUT RI ke-80, ratusan warga di berbagai penjuru negeri mengibarkan bendera bajak laut ala One Piece, lengkap dengan topi jerami, senyum tiga dimensi, dan tekad yang tak bisa dikalahkan meski saldo rekening terblokir. Peristiwa ini terjadi pada tanggal 17 Agustus pukul 07.00 WIB, bertepatan dengan upacara resmi yang menyajikan nasi tumpeng dan kebingungan nasional.
Siapa yang memulai? Di mana topi jerami bisa dibeli? Mengapa ini dianggap simbol perlawanan? Bagaimana nasib bendera Merah Putih? Semua pertanyaan berkumpul seperti kru kapal Thousand Sunny, tanpa arah tapi penuh semangat.
Menurut Profesor Bahari, pakar semiotika maritim dari Universitas Bahagia, penggunaan bendera One Piece adalah bentuk komunikasi absurd tingkat lanjut. “Ini mirip dengan mengirim surat cinta pakai bahasa Klingon. Sulit dimengerti, tapi penuh perasaan,” ujar Bahari sambil mengoles mentega ke koran bekas karena kehabisan roti.
Gerakan ini konon dipelopori oleh komunitas Pengibar Bendera Anti-Mainstream (PBAM) yang memiliki motto: “Jika tak bisa mengubah sistem, minimal bikin heboh.” Ketua PBAM, Kapten Dukun Laut, menyatakan dalam wawancara eksklusif lewat gelas bening, “Kami hanya ingin bicara tanpa bicara. Kami merasa seperti ikan cupang yang terkurung, indah tapi tak didengar.”
Sementara itu, pemerintah sempat menyangka aksi ini adalah audisi untuk sinetron terbaru bertema bajak laut patriotik. Menteri Urusan Tak Terduga menyatakan, “Awalnya kami kira ini acara cosplay nasional. Setelah tahu itu bentuk protes, kami bingung antara mengapresiasi atau menghibur diri.”
Pada akhirnya, pengibaran bendera One Piece bukan sekadar aksi iseng. Ini adalah jeritan absurd dari masyarakat yang ingin didengar, meski lewat simbol kartun dan jargon nakama. Moral cerita? Jika komunikasi tak lagi bisa lewat kata, maka sediakan topi jerami, kamera drone, dan pastikan sinyal stabil.
Karena di negeri ini, kadang simbol lebih nyaring dari toa masjid.
Posting Komentar